TUHAN YANG MENDERITA (THE SUFFERING GOD)
Penderitaan adalah topik yang sangat penting dalam kehidupan ini. Mengapa? Sebab pada akhirnya cepat atau lambat semua orang akan menghadapinya. Padahal tidak satu manusiapun mau menderita dan sudah menjadi sifat alamiahnya untuk menghindari rasa sakit dan penderitaan. Penderitaan yang dimaksud bukan sebatas pada problem fisik saja, melainkan juga pada sumber-sumber psikis yang menekan kehidupan manusia dan menjauh dari kebahagiaan hidup. Jadi jika rasa sakit dan penderitaan tidak bisa dihindarkan, bagaimanakah kita akan menghadapinya?
Menghindari Penderitaan (Pain Killer)
Kita tahu pain killer (pereda rasa sakit) seperti parasetamol, termasuk obat bius yang digunakan selama operasi. Meskipun disinyalir meningkatkan gejala hipertensi, namun obat-obat sejenis banyak digunakan untuk meredakan rasa sakit. Keinginan kita untuk menghindari rasa sakit dan penderitaan sangatlah kuat, dan sifat alamiah kita memang tidak menginginkan hal tersebut terjadi. Namun karena hal itu tetap terjadi manusia menggunakan berbagai cara meredam rasa sakit dan penderitaan tersebut.
Sebagian cara berjalan dengan baik, namun ada banyak penderitaan tidak bisa diredakan rasa sakitnya begitu saja. Tidak ada pain killer yang cukup efektif meredam penderitaan fisik seperti penyakit kanker, korban virus ebola, atau rasa depresi, kesepian, kecemasan, korban perkosaan, penganiayaan fisik, pembantaian, dan masih banyak lagi rasa sakit dan penderitaan yang menimpa kehidupan umat manusia. Termasuk rasa ketakutan pada kematian, Jadi bagaimana lagi permasalahan penderitaan ini harus dijawab?
Bentuk Nasehat Eskapis (Lari Dari Masalah)
Sungguh dalam kaitan menghadapi pokok persoalan ini diperlukan lebih dari sekedar nasihat atau model keimanan yang eskapis. Misalnya nasihat: “Ingatlah bahwa suatu saat ini kita akan bertemu dengan Tuhan dalam tubuh yang sempurna.” Atau,”Bersabarlah Tuhan pasti punya rencana indah atas penderitaanmu.” Jawaban-jawaban ini tidaklah salah, hanya seringkali kurang tepat disampaikan.
Alasan pertama) Penderitaan adalah problem aktual yang membutuhkan jawaban yang aktual juga. Jawaban eskapis atau lari dari permasalahan seringkali tidak relevan. Seperti orang yang sedang kehausan, namun ditawari bantuan melalui diskusi tentang resep minuman buah yang paling segar. Jika resep itu baik sekalipun, tetaplah sangat tidak relevan menjawab problem aktual yang dihadapi saat itu.
Alasan kedua) seringkali kepedulian yang eskapis justru menjadi wujud ketidakpedulian yang absurd. Seolah-olah atau yang penting sudah melakukan tugas menyampaikan penghiburan, namun seringkali hanya berbentuk lips service, hanya untuk menunjukkan kepedulian saja, namun tidak ada empati, dan bela rasa yang mendalam.
Alhasil model kepedulian eskapis tidak menjadi solusi bagi permasalahan aktual penderitaan dalam kehidupan umat manusia, yang justru seringkali terlihat menjadi sikap kepura-puraan saja. Yang terburuk tanpa sadar kita menyepelekan permasalahan aktual yang terjadi dalam penderitaan. Atau bahkan si penderita dijadikan korban dari kegagalannya untuk beriman.
Konsepsi Teologis Landasan Praktika Respon Kekristenan Terhadap Penderitaan
Ada yang menarik dalam pemahaman iman Kristen pada hal ketuhanannya. Beberapa agama lain mempertanyakan: “Mengapa Yesus yang adalah Tuhan menderita?” Tidak masuk ke dalam akal mereka bahwa Tuhan bisa menderita. Tentu saja konsep tentang tentang Tuhan yang menderita dalam kekristenan tidak bisa dijelaskan dalam konteks ajaran agama lain. Justru dalam kekristenan Tuhan yang menderita di dalam Yesus Kristus memiliki dasar pengertian yang sangat penting.
Tuhan dalam kekristenan adalah di dalam Yesus Kristus. Yesus Kristus adalah Tuhan yang menjadi manusia seperti kesaksian dalam Injil Yohanes 1:14. Dituliskan ho logos sarx egneto (Firman itu telah menjadi manusia). Kata manusia menggunakan kata sarx artinya tubuh (flesh). Dalam pengertian alkitabiah kata sarx biasanya menjelaskan kata daging yang artinya potensi keberdosaan. Jika penderitaan terjadi pada tubuh yang salah satunya secara teologis dijelaskan karena keberdosaan, makaTuhan telah mengambil sebentuk tubuh dalam Yesus Kristus untuk mengalami penderitaan yang sama seperti yang dialami oleh kebanyakan manusia.
Bahkan pewahyuan kepada Rasul Paulus, dijelaskan secara lebih gamblang dalam kata kenoo atau mengosongkan diri, di mana Yesus Kristus melepaskan hak-hak ketuhanNya, menjadi sama dengan manusia, bahkan memenuhi jalan penderitaan yang telah ditetapkan dalam kemanusiaanNya, mati dalam penderitaan di kayu salib. (Filipi 2:5-8). Jadi bagaimana hal ini menjelaskan hubungan antara Tuhan yang menderita dengan penderitaan yang dialami oleh manusia?
Theodisi: Keraguan Pada Eksistensi Sang Tuhan
Di tengah-tengah rumitnya persoalan penderitaan, menyeruak pertanyaan dari kalangan skeptis, jika Tuhan Mahakuasa, mengapa ia tidak menghilangkan penderitaan dari kehidupan manusia? Ini menjadi pertanyaan yang sangat menjebak. Pertama jika dibiarkan tanpa jawaban, citra Tuhan menjadi buruk rupa sebab seharusnya di dalam kemahakuasaannya Tuhan seharusnya mampu menghilangkan penderitaan. Jika dijawab bisa, nyatanya rasa sakit dan penderitaan itu tidak pernah tidak ada dalam sejarah kehidupan manusia. Jadi adanya rasa sakit dan penderitaan di dunia disimbolkan sebagai gambaran Deus in Abstentia (Ketidakhadiran Tuhan), atau dengan kata lain Tuhan tidak ada.
Perspektif Kristologis: Tuhan yang Menderita
Kita tidak bisa menyalahkan golongan skeptic begitu saja, sebab sebenarnya mereka menanyakan pertanyaan yang sangat penting: “Sejauh mana “Tuhan” peduli pada penderitaan manusia?” Sikap jika Tuhan tidak peduli untuk apa keberadaanNya dimaksudkan ada bagi umat manusia? Justru di sinilah pesan tentang Yesus Kristus sebagai Tuhan yang menderita (The suffering God) menjadi landasan cara pandang kekristenan yang penting terhadap penderitaan. Sebab bagaimanapun juga penderitaan tidak akan pernah hilang dalam kehidupan manusia, maka keberadaan Tuhan yang menderita di dalam Yesus Kristus adalah sebuah pesan penyertaan Tuhan bagi manusia ketika mereka harus melewati berbagai bentuk penderitaan dalam kehidupannya. Dalam pandangan kristosentris, Tuhan telah turut berbela rasa secara mendalam, menderita bahkan menuju titik penderitaan yang paling menakutkan bersama manusia yakni kematian.
Jadi dengan demikian jika keberpihakan Tuhan sangat jelas melalui belarasanya pada penderitaan yang bukan sekedar jargon semata, maka inilah yang seharusnya menjadi jembatan bagaimana gereja atau orang percaya melihat pada penderitaan.
Cara Pandang Gereja Terhadap Penderitaan
Dengan demikian maka hal yang paling penting bagi Gereja dan orang percaya dalam mengikuti jejak sang Kristus dalam kaitan dengan penderitaan adalah pertama) Jika penderitaan itu terjadi pada dirinya, maka ia atau mereka telah mendapatkan penghiburan yang sangat besar sebab sang Kristus sendiri berjalan dan bahkan menderita bersama dengan mereka. Kedua) Jika itu terjadi pada orang lain maka tidak bisa tidak, bentuk kepedulian yang sepenuhnya adalah satu-satunya sikap yang harus dinyatakan terhadap mereka yang mengalami penderitaan.
Sehingga meskipun penderitaan itu ada dan tidak bisa dihilangkan dari kehidupan manusia, namun manusia tetap mendapatkan kekuatan untuk menghadapinya dan mendapatkan penghiburan. Because you are not alone. (Amos Adi/Theology)
(Nantikan pembahasan Teologi Penderitaan 2: The Call of Hope & Strength)